Mexintv,com.Kupang – Harapan yang Masih Perlu Diperjuangkan
Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi harapan besar jutaan keluarga miskin di Indonesia, termasuk di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.(8/05/2025)
Tapi di balik aliran bantuan yang rutin datang setiap tahun, terselip pertanyaan penting: apakah PKH sungguh membawa perubahan?
Hingga 2023, tingkat kemiskinan di Kota Kupang masih berada di angka 18,12%, jauh di atas rata-rata nasional 9,36% (BPS Kota Kupang, 2023). Bahkan, sebanyak 19.615 kepala keluarga (KK) masuk kategori kemiskinan ekstrem menurut data Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Artinya, hampir satu dari lima keluarga di ibu kota provinsi NTT ini masih berjuang memenuhi kebutuhan paling dasar.
Dalam situasi ini, PKH hadir sebagai bantalan sosial. Menurut Dinas Sosial Kota Kupang, per November 2023 tercatat 11.766 KK sebagai penerima aktif. Program ini memberikan bantuan tunai bersyarat yang jumlahnya bervariasi: mulai dari Rp900 ribu per tahun untuk anak SD hingga Rp3 juta untuk ibu hamil dan balita. Tujuannya jelas: menjaga anak tetap sekolah,
Ibu hamil tetap periksa, dan keluarga tetap punya akses pada layanan dasar.
Namun, realita di lapangan seringkali lebih rumit daripada angka. Maria (bukan nama sebenarnya), warga Kecamatan Maulafa, Kota Kupang mengaku menerima bantuan PKH sejak 2019.
Bantuan itu sangat membantu kebutuhan dapur dan sekolah anak, katanya. Tapi ketika ditanya apakah kondisi ekonominya sudah membaik, ia menggeleng pelan.
“Kami tidak pernah tahu kapan bisa lepas dari status ‘keluarga miskin’. Bantuan itu cepat habis,” ujarnya dalam wawancara lokal pada bulan Maret 2024 lalu.
Cerita Maria mewakili ribuan penerima lainnya. Riset Bappenas (2020) mengungkapkan bahwa 60% keluarga penerima PKH tetap berada dalam kategori miskin meskipun sudah menerima bantuan selama lebih dari tiga tahun. Masalah utamanya bukan pada bantuannya, tetapi pada pendekatan program yang belum menyentuh akar persoalan,kemandirian ekonomi.
Banyak penerima PKH tidak pernah benar-benar diberdayakan. Pendamping sosial yang seharusnya membimbing mereka menjalankan peran terlalu berat. Di Kupang, satu pendamping bisa menangani 300 hingga 400 keluarga. Dalam kondisi ini, sulit membayangkan proses edukasi atau pembinaan berjalan optimal,
Persoalan klasik soal data masih menjadi batu sandungan. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang digunakan seringkali tidak akurat. Studi Darmawan & Suyanto (2021) dari Jurnal Sosioteknologi ITB menunjukkan banyak wilayah menggunakan data lama,
Persoalan salah sasaran ini tidak hanya soal ketidak adilan dalam penerimaan bantuan, namun karena penggunaan data yang salah berimplikasi pada terjadinya pemborosan anggaran negara karena masyarakat yang seharusnya layak kriteria sebagai penerima bantuan tidak mendapatkannya, sehingga kualitas kehidupannya tidak bisa diperbaiki.
Sementara di sisi yang lain, penggunaan data penerima bantuan yang tidak valid memperburuk stigma di kalangan penerima bantuan.
Kritik terhadap sistem ini sebaiknya diiringi dengan ajakan untuk berinovasi dan menerima masukan konstruktif, sehingga pada akhirnya dapat menciptakan sistem kesejahteraan sosial yang lebih efisien dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Jika tujuannya adalah mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan,
Lebih jauh lagi, artikel Is Poverty a Matter of Perspective? Significance of Amartya Sen for the Church’s Response to Poverty: A Public Practical Theological Reflection (Tenai, 2016) menyoroti bahwa perspektif kemiskinan yang semata-mata dilihat dari kekurangan uang tidak cukup untuk menangani realitas kompleks kemiskinan.
Artikel ini mengajukan bahwa intervensi yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi, seperti: pelatihan keterampilan, akses pendidikan, dan dukungan terhadap usaha mikro adalah kelanjutan logis dari bantuan tunai.
Pertama, pembaruan data penerima bantuan harus dilakukan secara rutin dan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) agar tepat sasaran. Transformasi digital dan inovasi teknologi harus segera diimplementasikan untuk memastikan data yang dikumpulkan selalu mencerminkan kondisi terkini. Kepemilikan e-KTP harusnya sudah dapat membantu dalam meningkatkan keakuratan mengevaluasi penerima bantuan PKH sehingga praktek salah sasaran tersebut bisa diminimalisir.
Demikian, data tidak lagi menjadi “batu sandungan” melainkan pondasi yang kokoh bagi kebijakan sosial yang responsif dan adaptif terhadap dinamika masyarakat.
Kedua, rasio pendamping PKH dan keluarga penerima bantuan perlu dipangkas agar interaksi mereka lebih bermakna. Dengan mengurangi beban pendamping, mereka dapat lebih optimal dalam mendampingi keluarga penerima manfaat Selain itu, keterampilan pendamping PKH harus ditingkatkan dengan menitikberatkan pada kemampuan pengembangan ekonomi kreatif.
Dengan demikian, kebijakan PKH dapat bertransformasi dari sekadar penyampaian bantuan tunai menjadi program pengembangan yang komprehensif, sehingga menciptakan dampak sosial dan ekonomi yang lebih signifikan.
Ketiga, program pemberdayaan ekonomi lokal, seperti pelatihan UMKM, koperasi wanita, atau proyek padat karya, harus berjalan berdampingan dengan PKH. Dengan adanya sinergi antara PKH dan program pemberdayaan ekonomi, penerima manfaat tidak hanya mendapatkan bantuan finansial tetapi juga peluang untuk meningkatkan keterampilan,
Membuka usaha, atau mendapatkan pekerjaan yang berkelanjutan. Hal ini akan membantu mereka keluar dari siklus kemiskinan, mengurangi ketergantungan pada bantuan sosial, serta mendorong kemandirian ekonomi yang lebih kuat. Integrasi kedua program ini juga menciptakan ekosistem ekonomi lokal yang lebih sehat dan produktif,
Keempat, evaluasi program tak cukup hanya mengukur jumlah uang yang tersalur, tetapi dampaknya pada perubahan hidup penerima. Sekadar menghitung angka transaksi keuangan memang memberikan gambaran administratif yang jelas.
Aspek-aspek ini jauh lebih penting dibanding sekadar angka, karena tujuan utama dari setiap program bukanlah distribusi uang, melainkan pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Pendekatan evaluasi berbasis dampak juga membantu perancang kebijakan untuk menyesuaikan strategi agar lebih efektif. Jika suatu program hanya berkontribusi pada peningkatan konsumsi jangka pendek tetapi tidak memberikan perubahan berkelanjutan, maka perlu ada perbaikan, seperti integrasi dengan pelatihan keterampilan, akses ke pasar kerja, atau pemberdayaan usaha kecil.
Harapan kepercayaan diri yang meningkat, keterampilan yang bertambah, atau peluang ekonomi yang lebih terbuka? Tanpa perubahan fundamental dalam cara kita melihat dan menjalankan program ini, PKH akan tetap menjadi sekadar instrumen bantuan, bukan solusi untuk kemandirian ekonomi.
Maka, yang dibutuhkan adalah PKH yang tidak hanya memberikan bantuan, tetapi juga membangun masa depan. Program ini harus dirancang dengan visi yang lebih besar menjadikan penerima manfaat sebagai agen perubahan, bukan sekadar objek bantuan.
Jika strategi ini diterapkan dengan baik, PKH bisa menjadi katalis bagi masyarakat yang lebih kuat, lebih sejahtera, dan lebih siap menghadapi tantangan ekonomi ke depan. (Tim)